Senin, 12 Oktober 2009

INTRODUCTION TO SOCIOLOGY (Sherman Zein, M.Si)


INTRODUCTION TO SOCIOLOGY
Sherman Zein, M.Si


Hasil Laporan Wawancara Mengenai Fenomena Sosial
”WARIA”


Group:
o Arimbi Lestari (2007111093)
o Lieona Freskalia (2007110505)
o Medita Isvandari (2007110661)
o Natalia Atmaja (2007110075)
o Silvia (2007110076)
o Sunshza Wilhemina (2007111147)

Class of MKT 11-3C

LONDON SCHOOL OF PUBLIC RELATION
2009

KATA PENGANTAR


Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahi robbill’alamin, kami mengucapkan Syukur yang sedalam – dalamnya kepada Tuhan YME yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk menyelesaikan Tugas Akhir Semester dalam waktu yang tepat. Begitupun dengan Bapak Sherman Zein selaku dosen pembimbing mata kuliah Introduction Sociology yang telah memberikan kesempatan bagi kami dan teman – teman untuk menambah nilai ujian akhir dengan membuat makalah dari hasil wawancara kami mengenai fenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar, khususnya Waria.

Begitu banyak halangan dan rintangan yang menghalangi dalam pembuatan tugas ini. Namun, semua itu merupakan pembelajaran bagi kelompok kami untuk mempersiapkan diri sebelum skripsi agar mengenal lebih jauh serta berinteraksi secara langsung dengan narasumber. Selain itu saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orangtua kami dan teman – teman yang selalu mendukung dan membantu dalam pembuatan tugas ini sampai selesai.

Pada akhirnya kami berharap mudah – mudahan dalam penyampaian makalah ini tidak hanya sekedar memenuhi tanggung jawab kami sebagai mahasiswa, melainkan dapat menambah wawasan bagi semua pembaca dan juga dapat memberi manfaat bagi semua orang.

Wassalamualaikum Wr,Wb


Jakarta, 2 Juni 2009


DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................4

BAB 2 PEMBAHASAN......................................................9

- waria pertama (Mel)........................................................17
- waria kedua (Tania)........................................................ 19
- waria ketiga (Dewi)..........................................................21
- waria keempat (Shakila)..................................................24
- waria kelima (Feby).........................................................27

BAB 3 PENUTUP...........................................................30

- Kesimpulan......................................................................31
- Saran...............................................................................31

Daftar Pustaka.......................................................................... ...32

Foto – foto waria sebagai dokumentasi........................................33








BAB 1 PENDAHULUAN
Representasi seks selama ini memang selalu menjadi pembahasan dalam Kajian Budaya (cultural studies). Kaitannya dengan media, representasi seks dalam media menjadi kajian-kajian menarik yang ingin berusaha menelanjangi tabir media sebagai alat konstruksi seksualitas. Seringkali juga, kajian budaya memerlukan teori-teori lintas disipliner sebagai alat untuk memahami representasi seksualitas dalam media.
Salah satu hal yang menjadi urusan seksualitas dalam pertelevisian menurut Morley (1995;198) merupakan tipe program dan penunjukan atas apa yang ada dalam contentnya. Maka, tidak salah jika apa yang dikatakannya merujuk pada salah satu bagian dari kajian budaya yang sifatnya kritis, yakni representasi. Bahkan Bakker menunjukkan permasalahan representasi sebagai sebuah bias gender dalam media. Permasalahan Gender biasanya memang berusaha membedakan antara laki-laki dan perempuan. Gender dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, dibuat, disosialisasikan, dan dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga dan sebagainya (Heroepoetri dan Arimbi;2004). Gender sendiri merujuk pada definisi sosial-kultural dari perempuan dan laki-laki.
Terlepas dari metodologis kajian budaya, content dari representasi seksualitas selalu dikaitkan dengan gender, ketimpangan sosial dan kekuasaan. Lama-lama kajian budaya yang digunakan untuk melihat representasi media memiliki unsur politis praktis sebagai sebuah analisa. Dan pengerucutan atas seksualitas selalu dibagi menjadi dua berdasarkan biologis, perempuan dan laki-laki. Sayangnya, fenomen representasi seksualitas di media tidak hanya disandarkan pada asumsi dasar seperti itu. Masih ada kelompok lain yang kiranya belum menjadi sorotan tajam kajian budaya kaitannya dengan representasi seksualitas, yakni kelompok transeksual. Dalam bahasa lokal, kita mengenal sebagai waria (banci, bencong, wandu dsb). Kehidupan waria sendiri sudah menjadi realitas sosial di negara kita.
Kehidupan para transeksual ini ditunjukkan melalui keorganisasian dan kelompok-kelompok waria di seluruh tanah air. Namun, kehidupan waria masih dipandang rendah bagi masyarakat Timur, termasuk negara kita. Tak heran jika referensi yang kita temukan tentang representasi waria di mediapun rasanya cukup sulit untuk ditemukan. Buku-buku tentang waria lebih menunjukkan jati diri seorang waria di tengah masyarakat. Tujuannya, tak lebih ingin mendapatkan pengakuan di tengah-tengah masyarakat. Tulisan ini kiranya ingin sedikit membeberkan bagaimana media televisi mengkonstruksi peran-peran kaum waria. Tulisan ini memang lebih pada gambaran umum kehidupan waria di televisi dan pembandingan dengan realitanya, meskipun tidak secara spesifik menjelaskan program acara tertentu.
Dalam berbagai kepustakaan, representasi seks dalam media memang tak ubahnya membedakan peran laki-laki dan perempuan di media. Ketika kajian budaya tidak lagi melihat fenomena nyata keberadaan transeksual, maka konstruksi dalam kajian budaya berarti turut menyingkirkan kelompok ini. Sedikit buku yang secara tuntas membahas tentang representasi kaum waria dalam media. Munculnya buku-buku tersebut juga tak lepas dari realita yang terjadi seiring dengan perkembangan kaum waria. Sebut saja buku karya Jane Arthurs dengan Television and Sexuality: Regulation and the Politics of Taste. Melalui alasan inilah tulisan ini ingin sedikit membeberkan persoalan representasi waria dalam dunia pertelevisian di Indonesia.
Ditambah lagi, fenomena banci di semakin marak di layar kaca.
Jika setiap hari Sabtu dan Senin pukul 19.00 kita menonton Trans TV maka kita akan menemukan salah satu acara komedi Extravaganza. Ada hal yang selalu membuat saya tertarik untuk melihatnya, yakni peran Aming yang identik dengan dandan gaya ala perempuan yang ‘ekspresif’. Apapun peran perempuan yang diperankan Aming selalu menjadi bahan gelak tawa luar biasa. Aktingnya memang sungguh heboh jika dirinya menjadi seorang perempuan. Sama halnya dengan Tessy. Jika kita melihatnya di berbagai acara humor, salah satunya Santai Bareng Yuk! di ANTV, Tessy selalu mengundang tawa penonton lantaran bajunya yang selalu terlihat ekstrem. Perilakunya pun tak kalah lucu dan menggemaskan. Perbedaan antara Tessy dan Aming mungkin pada usia dan segmentasi acara. Agak berbeda jika kita menonton acara-acara sinetron belakangan ini. Si Yoyo yang diputar di SCTV juga turut meyuguhkan peran banci di dalam ceritanya. Mungkin si banci bukan menjadi tokoh utama, tapi coba lihat di beberapa kali sinetron bertajuk religi mengenai banci. Banci menjadi tokoh utama ketika judulnya adalah Banci Tobat. Jika Tessy dan Aming selalu berperan lucu, maka di sinetron ini tokohnya tidak menampilkan menampilkan banci sebagai seorang yang lucu tetapi lebih dianggap aneh dan abnormal. Peran para banci (baca: transeksual) berbeda-beda di setiap jenis acara. Namun, ada kesamaan antara para banci di Extravaganza dan banci di Banci Tobat. Semuanya adalah hasil dari konstruksi media. Media mampu menampilkan diri mereka sebagai sosok transeksual yang unik dan mempunyai karakter sendiri di televisi. Dari sini realitas mulai terbentuk. Masyarakat tidak sadar bahwa yang disuguhkan adalah kerangka seksualitas yang tidak sesuai dengan realitas riil.
Waria itu bukan takdir. Pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia adalah laki-laki dan perempuan. Tuhan tidak pernah menciptakan manusia dengan kelamin ganda dalam diri seorang manusia. kalaupun terjadi kesalahan ada pada manusia bukan pada takdir. Seseorang menjadi waria dalam sisi psikologis dikarenakan ada aspek yg kurang dalam dirinya. Manusia yg beriman seharusnya dapat memilih kemana arah hidup yg akan dia ambil. Buat kami punya rasa toleransi pada waria itu adalah hal yg salah kenapa demikian? karena Tuhan tidak pernah menciptakan manusia dengan 2 kelamin. Paham yg mengakui adanya waria hanyalah paham sekulerisme.

waria itu sifat bawaan dari lahir, seorang waria sebagaimana orang orang normal sebelum lahir kedunia tidak punya pilihan, jadi kalau dia terlahir sebagai waria kita tidak bisa menyalahkan dia. Oleh karena itu kaum waria juga mempunyai hak yg sama dengan orang - orang normal. Didalam hukum beragama setiap warga negara dilindungi oleh hukum termasuk waria. Jadi selama kaum waria tidak melangar norma - norma hukum, norma agama, norma susila, hak - hak mereka harus dijunjung tinggi. Dari sudut pandang Islam memang ada anjuran untuk mengajak kaum waria memilih untuk menjadi perempuan atau menjadi laki laki.

Waria atau banci dlm terminologi bahasa Arab adalah "khuntsa" yg berarti seseorang yg memiliki dua kemaluan: dzakar/pelir dan vagina sekaligus. Dalam sebuah riwayat dari imam ad-Darimi disebutkan bahwa sahabat Ali bin Abu Thalib pernah berkata, "Seorang waria bisa menerima warisan berdasarkan tempat keluar kencingnya dari arah kelaminnya”.
Waria merupakan salah satu fenomena genetik yg memang sudah ada sejak masa lalu, sebelum masa Nabi SAW. Seseorang yg memiliki genetik waria harus dinilai dari aspek "psikis" spt: kecenderungan emosi, sikap, perilaku, dan lainnya. Jika dia cenderung pada kelaki - lakian, maka harus dianggap sebagai laki-laki; begitu juga sebaliknya, jika cenderung pada ke-wanita-an, maka harus dianggap wanita/perempuan. Namun jika dia memiliki alat kemaluan satu tetapi memiliki gejala psikis yg berlawanan (misalnya jenis kelamin laki-laki tetapi memiliki psikis perempuan), maka jg harus dinilai dari aspek psikis-nya. Yang penting gejala psikis itu adalah "alamiah", bukan "rekayasa". Yang dimaksud rekayasa misalnya karena untuk menarik popularitas dan materi, dia mau mengubah tampilan fisiknya secara berlawanan dengan bawaan genetik-nya, karena hal ini dibenci oleh agama, karena ada rakayasa mondial yg melahirkan sikap nihilisme nilai-nilai sacral-keagamaan. Demikian sekilas soal waria dlm pandangan Islam.







JAKARTA | SURYA Online - Kaum waria berharap pasangan calon presiden dan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto (WIN) dapat terus menjamin pengakuan akan status mereka sebagai masyarakat kategori ketiga jika JK-Win terpilih dalam pemilu presiden mendatang.
“Yang sering menjadi masalah kami kan masalah status. Meski sudah diakui di Komnas HAM kemarin, tapi sering saja terganjal karena status,” tutur Ketua Umum Himpunan Waria (Hiwaria) Organisasi Masyarakat Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) Jan Jayanti di sela-sela deklarasi Relawan Gotong Royong untuk pasangan JK-Win di Jakarta, Rabu (27/5).
Menurut Yanti, masyarakat sudah mulai menerima keberadaan mereka dan mengakui status mereka. Hanya saja, itu sering terjadi karena prestasi yang mereka cetak, bukan semata-mata karena adanya pemahaman masyarakat berdasarkan hukum. Sebagai contoh adalah pengalamannya pribadi. Langkahnya untuk menjadi caleg dalam pemilu legislatif lalu terganjal karena masalah status jenis kelaminnya.
“Harapan kami, waria dan komunitasnya, adalah dalam masalah perbaikan kesetaraan gender,” ujar Yanti.
Yanti mengatakan ada sekitar satu juta waria dan komunitasnya (kaum gay dan lesbian) yang tercatat sebagai kader ormas sayap Partai Golkar ini. Yanti berharap kaumnya bisa memberikan dukungan penuh kepada JK-Win dalam pilpres mendatang. “Kami memberi dukungan merujuk kepada pengalaman historis. Kami kan dibentuk MKGR,” tandas Yanti. lin/kcm





BAB 2 PEMBAHASAN
Jika kita melihat Dorce Show di Trans TV setiap hari pukul 09.30-10.30, maka kita akan menemukan seorang sosok Transexual (baca:waria) yang selama ini turut memeriahkan panggung hiburan di Indonesia, Hj. Dorce Halimatussadiyah Gamalama atau sering dipangil Bunda Dorce. Ini adalah salah satu contoh gambaran bagaimana seorang waria bisa masuk ke dunia pertelevisian. Masalahnya bukan pada bagaimana langkah seorang waria bisa menjadi artis melainkan bagaimana televisi mengkonstruksi peran-peran mereka. Waria sendiri, tidak berbeda dengan manusia lain, perempuan dan laki-laki. Namun asumsinya, televisi bisa merubah peran mereka di masyarakat dengan realitas di televisi.
Di akhir tahun 80-an, ada sebuah film yang juga menampilkan kaum transexual (baca:banci), yakni Catatan Si Boy. Keadaanya memang tak jauh berbeda dengan peran waria yang telah dibahas di awal tadi. Waria di film tersebut menjadi seorang pelengkap dan menjadi hiburan, bahan lawakan dan tertawaan. Peran Si Emon –yang diperankan oleh Didi Petet– justru ingin menunjukkan kegagahan peran si Boy dalam film tersebut. Peran banci menjadi hal yang selalu menjadi pelengkap sebuah cerita. Yang dimaksud pelengkap adalah, memberikan suasana lucu, terkesan tidak serius dan untuk mengundang tawa penonton.
Di pertengahan tahun 90-an, sinetron-sinetron juga mulai memunculkan peran-peran banci. Tak berbeda pula, di sinetron, peran waria masih saja menjadi orang yang dianggap lucu. Mulai dari cara bicara, cara berpakaian, cara berjalan dan sikapnya di sinetron harus bisa membuat orang tersenyum. Sebut saja misalnya sinetron Si Manis Jembatan Ancol dengan banci yang diperankan oleh Ozzy Saputra dan Juwita. Di acara drama serial bisa disebutkan yakni: Lenong Rumpi, yang diperankan oleh Juwita. Jika di sinetron, waria selalu menjadi bahan tertawaan, di drama serial Lenong Rumpi bahan tertawaan ini semakin menjadi-jadi. Sikap Juwita yang memang banci selalu menjadi olokan rekan-rekannya.
Di acara variety show yang bertajuk humor dan lawakan ala ‘srimulat’, peran tokoh transeksual (baca: banci, bencong) juga selalu dimunculkan. Beberapa contoh acara yang menunjukkan peran transeksual misalnya: komedi Extravaganza, Ketawa Spesial, Srimulat, Santai Bareng Yuk, ExtravaganzABG, NgeLenong Nyok!. Dalam konteks humor Indonesia, isi lawakan selalu bernuansa ejekan, celaan, hinaan atas sikap, perilaku, gaya pakaian dan embel-embel diri seseorang. Peran banci di acara-acara inipun selalu mengikuti arus lawakan Indonesia yang penuh dengan celaan dan hinaan. Lihat saja peran Tessy dalam Santai Bareng Yuk! di ANTV, bersama dengan rekan-rekannya, Tessy selalu berlagak menjadi perempuan yang agak ‘ekstrim’ melalui gaya pakaian dan sikapnya yang sungguh kemayu. Atau peran Aming sebagai seorang perempuan dengan gaya dan nada bahasa yang selalu mengundang tawa, bahkan make up yang dipoleskan selalu terlihat paling menor.
Fenomena waria tak lain adalah masalah sosial yang berangkat dari pembawaan. Kemunculan yang seakan-akan datang sebagai seorang waria merupakan kesalahan televisi dalam mengkonstruksi waria. Dalam sinetron-sinetron, waria ditunjukkan sebagai figuran. Artinya, waria tidak pernah menjadi yang penting dalam masyarakat. Fungsinya sebagai penghibur, pelawak, dan menjadi ajang hinaan. Waria di televisi punya tuntutan untuk memberikan sebuah ‘surpirse’ bagi penonton. Melalui sikap yang selalu kemayu dan manja, dengan pakaian perempuan yang ‘eksotik’ agak berlebihan jika sebagai seorang wanita dan menggunakan bahasa gaul atau bahasa binan.
Wacana waria di televisi rupanya sudah menjadi hal lumrah di publik. Bergesernya peran waria di televisi mampu justru memberikan stereotipe yang negatif terhadap kaum transeksual. Dede Oetomo (2001;151) menyebutkan salah satu hal yang menjadikan representasi media dalam sinetron salah adalah waria yang disebutkan sebagai manusia yang aseksual. Waria ditunjukkan sebagai manusia yang tidak memiliki orientasi seksual secara khusus. Hanya saja, waria ditunjukkan sebagai seorang pekerja seks yang selalu juga dianggap menyimpang. Misalnya saja film bernuansa pertobatan banci dalam di RCTI yang diperankan oleh Tessy. Apa yang melekat dari diri waria bukan permasalahan seksual tetapi lebih pada permasalahan sosial. Dede membuktikan lewat hasil observasinya, Waria dalam realitasnya justru lebih banyak melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan laki-laki dan perempuan. Lanjutnya, waria dapat saja menjadi penetrator (anal) dan bukan melulu pentratee.
Waria selalu diperankan dalam status sosial yang rendah. Seakan-akan, ini memperlihatkan bahwa fenomena waria merupakan kasus desakan ekonomi keluarga. Karena keluarga miskin, maka bekerja sebagai waria. Ditambah lagi adegan-adegan yang selalu mengarah pada pekerjaan waria sebagai pekerja seks komersial. Nampaknya, waria diposisikan sebagai orang yang selalu sial dalam hidup. Sudah miskin ditambah lagi tidak ada pekerjaan bagus yang diperolehnya. Para waria tidak ditunjukkan sebagai orang yang sukses dengan kehidupan glamor. Waria diperlihatkan dengan kehidupan malam yang kampungan.
Meminjam pendapat dari Gayle Rubin (Alimi;2004) yang berbicara masalah seksualitas, bahwa kaum transeksual selalu menjadi bagian dari . Asumsi dasarnya adalah, seksualitas merupakan suatu representasi konstruksi dari masyarakat itu sendiri. Artinya, anggapan masyarakat terhadap transeksual (laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya) merupakan suatu budaya yang ‘menyimpang’.
“seksualitas yang dianggap ‘baik’, ‘normal’, dan ‘natural’ secara ideal adalah yang heteroseksual, marital, monogami, reproduktif dan non-komersial. Ditambah lagi, ia juga harus berpasangan, relasional, dari satu generasi yang sama dan terjadi dalam rumah…. Seks yang buruk meliputi homoseksual, diluar perkawinan, tidak prokreatif, atau komersial.” (Alimi;2004)
Melalui arus pengertian ini, kelompok-kelompok transeksual menjadi bagian dari ketidaknormalan masyarakat. Dengan anggapan ketidaknormalan ini, masyarakat kemudian menyingkirkan dan melakukan bentuk diskriminasi, pembedaan berdasarkan normal dan tidak normal.
Masalah lain muncul, ketika televisi juga mengangkat peran-peran waria. Bagi Rubin, Foucoult dan Butler (Alimi;2004) seksualitas adalah bentukan dan sebuah konstruksi. Televisi nyatanya juga mampu memberikan konstruksi akan peran waria. Konstruksi yang dilakukan oleh televisi ternyata juga memberikan gambaran realitas pengasingan, diskriminasi tanpa melihat situasi dan realitas yang sebenarnya. Konstruksi hanya dipandang dari sisi masyarakat, tidak dipandang dari identitas diri sebagai waria. Misalnya saja: film Banci Tobat adalah sebuah realitas televisi yang bisa dikatakan kerilu. Konstruksi yang dibuat menggunakan frame agama (karena bagian dari sinetron religi), maka peran waria ditunjukkan sebagai orang yang salah, tidak tahu adat, dan yang jelas pelanggaran berat terhadap suatu agama. Ini memperlihatkan, bahwa masih ada anggapan normal-abnormal, baik-tidak baik, dan natural – jadi-jadian.
Waria menjadi produk hiburan. Meskipun dianggap sebagai sesuatu yang abnormal di masyarakat, Televisi rupanya mampu menyulap peran-peran waria menjadi objek yang lucu. Kebiasaan yang salah bisa jadi suatu kebiasaan yang lumrah. Dengan nada bicara yang kemayu dan dengan bahasa gaul para waria ditambah lagi dengan cara berdandan yang unik plus polesan di wajah, rupanya waria menjadi komoditas tawaan. Hal ini rupanya jauh berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Di saat masyarakat masih menerapkan frame normal-abnormal dalam pandangan-pandangan tertentu televisi justru merubah peran-peran waria yang sebenarnya. Pandangan masyarakat akhirnya bergeser terhadap realitas semu televisi, yang juga menjadikan waria bahan tertawaan yang justru tetap melanggengkan diskriminasi sosial.
Permasalahan lain adalah permasalahan indentifikasi kaum transeksualis. Ketika seorang waria masuk dalam suatu komunitas, maka indentifikasi dirinyalah yang menguatkan hidupnya sebagai seorang waria. Dede Oetomo pernah menganalisa, bahwa kenyataannya, banyak masyarakat Indonesia yang selalu menutup mata akan keberadaan kaum waria. Padahal, kehidupan waria selalu berada di mana-mana, dari kota-kota besar, bahkan di desa-desa. Fenomena kehidupan waria selalu berada dalam nuansa berkelompok. Terdapat group-gorup atau komunitas-komunitas kecil untuk meidentifikasikan diri para transeksualis, tepatnya untuk mendorong diri menghadapi kenyataan hidup. Siapa lagi yang mau menerima mereka?
Bandingkan dengan kemunculannya di dunia pertelevisian. Kaum waria justru dilihat sebagai orang yang selalu hidup sendiri, mandiri, tanpa ada identitas diri yang jelas. Dalam sebuah acara bertajuk feature – Human interest, Kejamnya Dunia di Trans TV, berjudul kenyataanya sungguh berbeda. Waria dinilai tidak berada dalam nuansa group di mana mereka bisa mengidentifikasikan diri. Maka, kesengsaraan pribadi dan sulitnya mencari tempat naungan menjadi hal yang sangat lumrah dipahami melalui televisi. Parahnya, masyarakat memahami itu sebagai kenyataan yang biasa saja. Realitas yang demikian ini, justru menyudutkan kaum waria sebagai anggota group.
Dunia kapitalisme seperti yang dikatakan Bakker (2005;396) telah menguasai media. Persoalan kapitalisme akhirnya bisa menentukan dunia yang nyata dan ideal sesuai dengan kepentingannya. Persoalan banci sebenarnya tidak hanya masalah sikap, gaya, dan cara berpakaian yang lucu, tetapi merupakan permasalahan sosial yang lebih dari itu. Stereotipe di masyarakat tentang waria sebagai penghibur menjadi sesuatu yang tak masalah, karena televisi atas kepentingan kapitalisme telah membentuknya seperti demikian. Tak hanya kekuatan kapitalisme, kedatangan televisi mampu mengangkat realitas seksualitas tanpa bentuk menjadi dunia imajinasi yang ‘nyata’ yang juga menjadi sumber reproduksi bagi media.
Peran Aming sebagai banci di Extravaganza bukan ingin mempertunjukkan banci itu sendiri sebagai sebuah realitas nyata tetapi lebih pada kepentingan ekonomi media. Ketika media tunduk pada kepentingan ekonomi maka semua terbentuklah sebuah komodifikasi. Apapun bisa menjadi bahan komoditas, dijual kepada pemilik uang. Dalam dunia pertelevisian program yang dianggap menarik tentunya akan layak jual kepada para pengiklan. Konsep banci yang diperankan Aming merupakan sebuah representasi atas kepentingan ekonomi politik dari dunia televisi.


Pertunjukan realitas waria di pertelevisian Indonesia sangat beragam. Telah disebutkan di awal, bahwa fenomena transeksual sudah masuk ke acara program-program hiburan seperti: sinetron, film, musik (video klip), variety show (dagelan dan lawakan), berita, talkshow, feature dokumener (seperti: Fenomena, Bunglon, Hitam Putih), bahkan iklan. Acara-acara televisi tersebut bisa saja memang menggunakan aktor yang benar-benar transeksual maupun aktor banci jadi-jadian (hanya tuntutan peran). Banyak sekali program acara yang membuat banci menjadi sendiri semakin diterima sebagai realitas yang ‘nyata’ dari televisi. Hanya saja di setiap peran waria selalu digambarkan relatif sama sebagai pemeran yang tidak penting dan sebagai pemberi suasana hiburan bagi aktor lain. Jika ada banci atau waria, maka suasan akan semakin lucu dan atraktif.
Para ‘banci’ yang ditampilkanpun televisi akhirnya menjadi sebuah realitas semu di masyarakat. Selama ini, masyarakat Indonesia memang memandang ‘banci’ melalui sebelah mata. Tentu saja, masih dengan menggunakan kacamata yang selalu berbeda setiap individu. Ada yang menggunakan frame agama, ada yang memandang dari sudut sosial dan budaya, ada yang melihat dari kacamata biologis. Kenyataannya, dengan budaya televisi yang demikian ini, para waria di Indonesia harus menanggung malu sebagai bahan celaan dan tertawaan masyarakat juga. Pemikiran-pemikiran ini dibentuk juga melalui televisi.
Kenyataan di televisi selalu menjadi kenyataan semu dalam menggambarkan realitas banci. Pada akhirnya tidak ada pembedaan antara realitas nyata dan realitas semu. Semuanya menjadi terbalik. Apa yang ditampilkan di televisi dipahami sebagai apa yang sebenarnya terjadi. Banci-banci yang ditampilkan dalam acara-acara lawakan menjadi pemahaman masyarakat akan keberadaan banci yang sebenarnya. Banci akan selalu dianggap menjadi penggembira, selalu ‘menyenangkan’ dan ‘tidak masalah’ jika dicemooh dan diolok-olok. Kenyataannya, banci tak selamanya mengalami perilaku yang menyenangkan. Kehadirannya sebagai penggembira seolah-olah mudah untuk dicela bahkan disingkirkan. Banci selalu menjadi orang yang terbelakang.
Dalam pembentukan realitas virtual, peran teknologi komunikasi menjadi kunci. Televisi menjadi salah satu media komunikasi modern yang mampu menciptakan dunia imajinasi atas gambaran yang ditampilkan (Sianipar;2005). Gambaran yang diberikan oleh televisi pada akhirnya mau tidak mau menjadi bagian dari kebutuhan hidup yang harus diterima dan dihidupi oleh masyarakat. Maka tak heran, jika peran-peran waria yang berada di televisi sebagai ajang hiburan, kenyataan riil mengatakan bahwa masyarakat juga akan memberikan penilaian kepada para banci ini sebagai ajang hiburan. Pencitraan televisi akhirnya mempengaruhi pemikiran-pemikiran riil masyarakat.
Meski demikian, apa yang ditawarkan media dan yang mendapatkan sambutan dari masyarakat adalah apa yang menjadi kebutuhan besar (Sianipar;2005). Fenomena munculnya waria dalam pertelevisian Indonesia seringkali juga dimaknai berbeda sesuai dengan pandangan kelompok masyarakat. Misalnya saja, kelompok agama tertentu memandang bahwa serial-serial waria dan homoseksualitas di televisi (sinetron, film ,dsb) merupakan suatu bentuk kampanye anti kemapanan dan perbuatan yang anti agama. Kasus Buah Bibir dan Potret pada tahun 1997 yang akhirnya diprotes oleh pemerintah menunjukkan ketertundukaan kekuasaan pemerintah tentang seksualitas di media, karena yang ditunjukkan adalah tentang homoseks, kebebasan seks dan kegiatan-kegiatan seksual lainnya.
Waria tidak sengaja diciptakan Tuhan karena Tuhan hanya menciptakan manusia sebagai pria atau wanita. Namun banyak juga masyarakat yang kurang menyadari, mengapa seseorang menjadi waria? Yang ada hanyalah kesadaran bahwa waria adalah orang yang memang menentang kehendak Tuhan. Padahal, ada beberapa hal yang menyebabkan waria menjadi seperti demikian. Pertama karena lingkungannya. Waria, sebetulnya bisa dikategorikan menular dan menjadi gaya hidup. Tentu saja bagi mereka yang mengalami, tidak bisa ‘setulen’ waria yang sesungguhnya tercipta dari kecil. Apakah mereka bisa dikatakan butuh uang? Sedangkan untuk biaya operasi itu saja bisa membutuhkan uang berjuta-juta dan bahkan hingga ke luar negeri untuk operasinya. Terkadang jalan hidup yang sudah dipilih mereka masih dilihat sebelah mata. Masyarakat kebanyakan masih memandang bahwa mereka terlihat aneh secara fisik, secara tingkah laku, dan akhirnya masih menyepelekan kehadirannya.
Dalam menyelesaikan tugas sosiologi yang bertemakan fenomena sosial, kelompok kami mendapat tugas untuk mewawancarai teman-teman yang berprofesi sebagai waria. Tujuannya adalah agar kita dapat mengetahui fenomena apa saja yang terjadi di dalamnya. Dari wawancara tersebut tentunya kelompok kami dapat mengetahui banyak info yang tidak diketahui orang awam tentang profesi ini.
Kelompok kami berjumlah 6 orang. Kami mencari sejumlah waria di daerah Taman Lawang yang memang terkenal dengan sejumlah waria yang biasa berdiri menjajakan diri di pinggir jalan. Jam 12 malam kami sekelompok bersiap untuk menuju Taman Lawang dan mencari para waria tersebut. Pencarian tidaklah berjalan dengan sempurna, banyak sekali hambatan yang kami semua alami. Waria terkenal sebagai pecinta lelaki dan mereka sangat sensitif dengan keberadaan wanita, dan ironisnya kelompok kami semuanya bergender wanita. Itulah yang menjadi hambatan terbesar bagi pencarian. Bertemu waria yang sedang mabuk dan menari telanjang pun menjadi hal yang sangat wajar kami temui disana.














1. Hasil wawancara waria pertama

Salah satu waria yang berhasil kami wawancarai bernama Mel. Mbak Mel berkeberatan untuk menyebutkan nama aslinya, kami pun tidak ingin memaksa sehingga dapat menyinggung perasaan mereka. Kami memilih untuk meneruskan wawancara tanpa memusingkan nama asli dari Mbak Mel. Mbak Mel adalah seorang waria yang berumur 35 tahun. Dari bentuk tubuh dan wajahnya sangatlah tidak terlihat bahwa Mbak Mel berumur 35 tahun. Mbak Mel terlihat begitu muda dan begitu cantik. Tidak kalah cantiknya dengan para wanita sungguhan.
Kegiatan sehari-hari Mbak Mel hanyalah menjajakan diri di Taman Lawang pada malam hari. Sekitar jam 10 malam, Mbak Mel sudah berdandan cantik dan berpakaian menggoda serta bersiap-siap menuju Taman Lawang, tempat dimana ia akan menjajakan dirinya. Pada siang hari, Mbak Mel hanya berkegiatan di rumah kontrakannya. Ia sangat rajin membersihkan rumah kontrakannya yang menurutnya tidak begitu besar itu, dan barulah pada malam hari, Mbak Mel bekerja unutk menyambung hidupnya seorang diri di Jakarta.
Mbak Mel juga menceritakan kegemarannya kepada kami. Hobinya adalah menyanyi, menonton film, dan menari. Apabila ia memilki waktu senggang, ia akan melakukan hobinya. Hobi tersebut sudah ia milki sejak ia kecil hingga sekarang ia sudah berumur 35 tahun. Ketika kami menanyakan mengapa tidak menjadikan hobinya sebagai profesi, Mbak Mel hanya tersenyum manis tanpa memberikan penjelasan apapun tentang pertanyaan kami.
Disamping pekerjaan Mbak Mel yang dianggap remeh oleh banyak orang, Mbak Mel juga seperti manusia pada umunya. Ia juga memiliki cita-cita yang ingin ia capai sejak kecil. Tentu saja, menjadi waria bukanlah cita-citanya. Cita-cita Mbak Mel yang sesungguhnya adalah menjadi seorang guru TK. Ia mendambakan bisa mengajar banyak anak-anak kecil dan membimbing anak-anak tersebut ketika sedang bermain. Sungguh cita-cita yang mulia.
Kami juga tak lupa menanyakan sudah berapa lama Mbak Mel menajalani profesi seperti ini. kami dibuta tesentak kaget dengan jawaban yang Mbak Mel berikan. Ternyata Mbk Mel sudah menjalani profesi ini selama 19 tahun. Sekarang umur Mbak Mel sudah 35 tahun. Itu berarti Mbak mel sudah berprofesi sebagai waria pinggir jalan sejak ia berumur 16 tahun. Bukankah pada umur itu ia seharusnya sedang mengenyam pendidikan di bangku SMA kelas 1? Tapi pada kenyataanya, Mbak Mel tidak seperti remaja pada umumnya. Ketika semua teman sebayanya sedang belajar dan mengikuti pendidikan, ia harus berjuang keras mempertahankan hidup dan memuaskan hasrat yang ia miliki.
Factor pendorong utama yang mengutakan Mbak Mel menjadi waria penjaja seks pinggir jalan adalah factor ekonomi. Mbak Mel juga memilki keluarga. Keluarganya tinggal di desa. Mbak Mel datang ke kota untuk mengadu nasib. Sehingga factor ekonomilah yang menjadi factor yang terkuat.
Mbak Mel pun mengaku senang dan puas ketika harus menjalani profesi ini. selain factor ekonomi, ada hal lain yang membuat kami semua terkejut kaget dengan jawaban Mbak Mel yang sangat jujur. Selain factor ekonomi, ternyata Mbak Mel juga ingin melampiaskan hasrat seks nya denga para pria hidung belang yang membeli jasanya. Mbak mel merasa sangat senang apabila banyak laki-laki yang berparas menarik yang datang unutk menawar atau hanya sekedar menggoda atau memegang-megang alat vitalnya.
Dari kecil, Mbak Mel pun sudah merasakan kelainan ketika melihat sosok seorang pria. Tidak seharusnya Mbak Mel suka atau jatuh cinta pada sesama pria. Tapi sejak itulah ia sadar bahwa ia terlahir dengan kelainan seksual yang ia miliki dan sekarang menjadi profesinya. Keluarga pun mengetahui sejumlah uang yang Mbak Mel kirimkan adalah uang hasil menjajakan diri sebagai waria penjaja seks. Keluarga pun tidak tinggal diam. Keluarga Mbak Mel pun sempat melarang dan mencoba untuk menasehati. Tapi apa boleh buat, Mbak Mel dan keluarganya membutuhkan uang dan terlilit masalah ekonomi. Itulah sebabnya mengapa Mbak Mel akhirnya diijinkan untuk mencari nafkah dengan cara yang tidak halal ini.
Dalam profesi ini, tentulah banyak sekali resiko yang harus Mbak Mel dan teman-teman seprofesinya terima. Resiko terbesar yang sering ia alami adalah aparat KAMTIB (Keamanan dan Ketertiban) yang tidak jarang menjaring dan membawa mereka untuk diperiksa di kantor kepolisian. Mbak Mel pun pernah terjaring dan tertangkap. Mbak Mel mengaku sempat ditahan beberapa hari dan diberikan sentuhan rohani agar Mbak Mel dapat berubah dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi ketika sudah dilepaskan dari kantor kepolisian, Mbak Mel pun kembali ke profesinya sehari-hari. Menurutnya, profesi yang sekarang ia jalani adalah panggilan jiwa dan bawaan lahir.
Pendapatan yang Mbak Mel dapatkan setiap harinya, tidaklah sama. Ketika Hari Jumat, Sabtu dan Minggu ( weekend), Mbak Mel mendapat penghasilan yang lebih besar dari pada hari biasa (Hari Senin hingga Hari Kamis). Ketika weekend banyak sekali pengunjung yang datang. Tidak hanya lelaki hidung belang, para wanita normal yang hanya ingin sekedar melihat, menggoda, atau mewawancarai mereka pun tidak jarang datang ke Taman Lawang tempat dimana Mbak Mel bekerja.
Pertanyaan terkahir yang menutup wawancara kami dengan Mbak Mel dan bersiap melanjutkan wawancara dengan waria lainnya adalah apakah ada keinginan dari dalam diri Mbak Mel untuk berubah dan sembuh menjadi laki-laki normal dan meninggalkan profesi ini? dari lubuk hatinya yang terdalam, ia tetap berkeinginan unutk kembali normal. Tapi apabila ia tetap tidak bisa, ia pun tidak akan memaksa dirinya untuk berubah.


2. Hasil wawancara dengan waria kedua

Waria berikut yang kami wawancarai adalah Mbak Tania. Mbak Tania juga berkeberatan menyebutkan nama aslinya kepada kami. Mbak Tania adalah seorang waria penjaja seks yang berumur 36 tahun. Seperti pada wanita kebanyakan, Mbak Tania memiliki kulit wajah yang mulus dan memiliki tubuh yang indah semampai. Para wanitapun tidak terkalahkan dengan kemolekan tubuhnya.
Kegiatan Mbak Tania sehari-hari hanyalah menjajakan diri di Taman Lawang sebagai pemuas nafsu laki-laki hidung belang. Meskipun sebagai waria, Mbak Tania tidak pernah henti didatangi berbagai lelaki hidung belang yang ingin dilayani olehnya. Ketika siang hari, Mbak Tania lebih memilih beristirahat di rumah kontrakannya, karena pada malam hari Mbak Tania harus bekerja semaksimal mungkin menjajakan diri demi menyambung hidup. Sehingga kegiatan Mbak Tania sehari-hari hanyalah sebagai waria penjaja seks pada malam harinya.
Mbak Tania sangat senang menari. Ia terlihat begitu bersemangat ketika menanyakan tentang hobinya itu. Ia ingin sekali menjadi seorang penari professional. Menari memang menajdi kegemarannya sejak ia kecil. Selain menari, Mbak Tania juga sangat senang membaca buku. Semua jenis buku sering sekali menemaninya mengisi hari di siang hari menunggu datangnya malam hari ketika harus bekerja. Mbak Tania juga mempelajari banyak hal dari hobinya membaca buku. Ia mengetahui segala sesuatu yang belum ia ketahui sebelumnya.
Mbak Tania memiliki cita-cita untuk menjadi seorang juru rawat (perawat). Ketika kami menanyakan tentang cita-cita nya itu, ia menceritakan bahwa ia tidak pernah takut akan darah atau jarum suntik. Jauh dari dasar hatinya, ia sangat ingin menolong orang lain yang terluka dan mencoba unutk membantu kinerja para dokter. Tapi sayangnya, ia tidak memilki cukup dana dan cukup nyali untuk merealisasikan cita-cita mulianya itu. Sehingga, ia memutuskan untuk ,menjadi seorang waria penjaja seks yang sering dicibir orang.
Mbak Tania menjalani profesi ini seperti ini sejak dari tahun 1995. Itu menandakan bahwa Mbak Tania sudah menjalani profesi ini selama 14 tahun. Tentunya sudah banyak hal yang Mbak Tania alami dalam menjalani profesi ini. Suka serta duka Mbak Tania menjalani profesi ini akna kami bahas secara detail di bagian berikutnya. Sehingga kita dapat lebih mendalam mempelajari tentang fenomena waria malam ini.
Faktor yang menguatkan Mbak Tania menajdi seorang waria penajaj seks di pinggir jalan adalah faktor ekonomi. Ia sudah hampir kehabisan akal untuk menyambung hidup di tengah kerasnya kehidupan di kota Jakarta ini. Disamping tidak memiliki bakat yang menunjang, Mbak Tania merasa bahwa tak ada satu rumah sakit, klinik, puskemas ataupun lembaga yang mau memperkerjakan seorang waria sepertinya. (sehubungan dengan cita-cita Mbak Tania yang ingin menjadi juru rawat). Sehingga keadaan tersebutlah yang memaksa Mbak Tania untuk memutuskan untuk menjadi waria penjaja seks.
Menurut Mbak Tania ada banyak kelebihan dan keuntungan yang ia dapatkan dalam menjalani profesi ini. Kelebihan utama yang ia dapatkan dalam profesi ini adalah kepuasan batin. Kepuasan atau terpenuhinya hasrat Mbak Tania untuk berhubungan badan dengan lelaki. Ia mengaku, tanpa dibayarpun, ia rela bersetubuh dengan lelaki hidung belang yang mendambakan jasanya, asalkan Mbak Tania juga terpuaskan dan asalkan ia suka dengan tampilan fisik sang lelaki. Sungguh menohok hati. Kelebihan lain yang ia dapatkan dalam profesi ini adalah ia dapat membantu keluarga dari segi ekonomi, karena para keluarga sangat membutuhkan kiriman uang dari Mbak Tania.
Keluargapun mengetahui profesi tidak halal dari Mbak Tania. Tapi keluarga pun tidak dapat melarang karena mereka membutuhkan uang untuk menyambung hidup di desa sana. Meskipun sang keluarga mengetahui, tetaplah keluarganya sempat melarang dan meminta Mbak Tania untuk berubah dan mencari pekerjaan yang lebih layak.
Pendapatan yang Mbak Tania dapatkan juga tidaklah tetap dari hari ke hari. Pada hari biasa tentu pendapatannya tidak sebanyak pada hari libur (Jumat, Sbatu,Minggu) meskipun pendapatan dari para turis biasanya lebih banyak daripada pengunjung local pada biasanya.
Resiko dan hambatan pun tidak lepas dari profesi ini, terkadang para pengunjung tidak setuju dengan tariff yang ditetapkan oleh Mbak Tania. Sehingga Mbak Tnia harus menerima resiko diabyara hanya setengahnya. Mbak Tania dan para temannya di Taman Lawang pun tidak luput dari razia para aparat keamanan.
Dibalik itu semua, Mbak Tania pun memiliki keinginan untuk menikah dan ingin mendapatkan suami. Tentulah keinginan tersebut ditentang keras oleh para keluarga. Sehingga jalan menajdi waria penjaja seks menjadi jalan terbaiknya saat ini.


3. Hasil wawancara dengan waria ketiga

Dewi, seorang waria berusia 30 tahun. Ia berasal dari Bandung. Kegiatan ia sehari-hari adalah menjadi penata rias di sebuah salon di daerah Mangga Besar. Ia bekerja di salon yang mayoritasnya adalah komunitas waria, seperti dirinya. Selain itu, ia juga mempunyai kerja sampingan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) pada malam hari. Biasa ia menjajakan diri dengan teman-teman seprofesinya di daerah Taman Lawang.
Menurut Dewi, penghasilannya dari bekerja sebagai penata rias kurang mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Makanya ia juga mengambil profesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Menurut Dewi, penghasilannya dari bekerja sebagai penata rias maupun Pekerja Seks Komersial (PSK), sebenarnya sama saja. Namun baginya itu lumayan untuk menambah penghasilannya demi mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Disamping memenuhi kebutuhan hidupnya, ia juga menikmati profesi tersebut karena dari profesi tersebut, ia sekaligus dapat memenuhi kebutuhan seksnya.
Menurut Dewi selama menjalani profesi ini, ada banyak suka dukanya. Kalau senangnya, Dewi bisa melampiaskan hasratnya untuk menjadi layaknya seorang wanita. Karena dengan begini, ia merasa bahwa dirinya benar-benar menjalani kehidupan dan mempunyai kodrat sebagai wanita seutuhnya. Contohnya ia melakukan hubungan seks dengan laki-laki. Bahkan menurut Dewi, ia tidak mau berhubungan seks dengan wanita. Padahal banyak juga pengunjung wanita yang datang ke Taman Lawang untuk menggunakan jasanya dalam memenuhi dan memuaskan kebutuhan seks mereka. Tapi bagi Dewi, ia adalah seorang wanita, yang memiliki naluri 100% sebagai wanita, walaupun memang pada kenyataannya ia adalah seorang laki-laki. Jadi menurut Dewi, berhubungan seks dengan wanita, itu sama saja melakukannya dengan sesama jenis. Dan bagi ia, itu adalah hal yang aneh. Sedangkan dukanya dalam menjalani profesi ini adalah apabila ada pengunjung yang melakukan tindakan kekerasan atau bahkan menipu. Misalnya saja pada saat proses transaksi sudah setuju dengan harga 50rb, tapi banyak dari mereka tidak membayar penuh, kadang hanya membayar setengahnya saja. Tapi Dewi juga tidak menampik kalau biasanya terhadap pelanggannya, ia tidak memungut tarif. Jadi mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Dibalik profesinya yang sangat controversial tersebut,
Dewi juga mempunyai hobi yang sama seperti masyarakat pada umumnya. Dewi sangat suka menyanyi. Menurutnya menyanyi itu menyenangkan dan bisa menghilangkan kesedihan di hatinya. Saat ditanya tentang cita-citanya dari kecil, ia menjawab ingin sekali menjadi dokter. Namun karena tingkat ekonomi keluarganya rendah, ia terpaksa putus sekolah sejak SD. Faktor ekonomi pulalah yang mendorong Dewi untuk berprofesi sebagai seorang waria dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Ia harus menanggung kebutuhan orangtua serta adik-adiknya. Faktor lain yang mendorong ia berprofesi tersebut adalah nalurinya dari kecil yang membuat ia lebih nyaman untuk berdandan layaknya seorang perempuan.
Ia mengaku dari kecil sudah merasa tidak nyaman menjadi seorang laki-laki. Ada hasrat yang mendorongnya untuk berpenampilan seperti perempuan. Ia sudah berprofesi sebagai waria sejak tahun 1994. Ketika itu ia baru berumur 15 tahun. Waktu itu yang ada di benaknya ketika akan terjun ke profesi tersebut adalah ingin membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Ia juga ingin membantu membiayai adik-adiknya bersekolah. Sedangkan yang terakhir adalah bisa membuat senang dirinya sendiri. Kembali ke alasan awal, yakni bisa memenuhi kebutuhan batinnya untuk menjadi sebagai wanita.
Menurut Dewi, keluarganya mengetahui dirinya berprofesi sebagai waria sekaligus Pekerja Seks Komersial (PSK). Ayah Dewi sendiri tidak setuju dengan profesi tersebut. Karena menurut ayahnya, kita sebagai manusia, harusnya tidak melanggar kodrat Tuhan dan harus menghargai apa yang telah Tuhan berikan. Sedangkan ibu Dewi, ia berusaha menerima dan mengerti akan keadaan Dewi yang seperti itu. Walaupun ibu Dewi sendiri ingin sekali anaknya hidup secara normal. Bahkan Dewi menceritakan bahwa ayahnya sering menuntut dirinya agar tiap hari lebaran datang, ia membawa wanita yang akan dinikahinya.
Namun bagi Dewi itu adalah hal yang mustahil. Karena itu, Dewi jadi jarang pulang ke kampungnya di hari lebaran. Karena ia takut akan tuntutan ayahnya. Walaupun dari dalam dirinya sendiri sebenarnya ada juga keinginan atau harapan untuk berubah menjadi pria normal kembali. Keinginan tersebut kadang-kadang muncul karena dipengaruhi beberapa alasan. Yang pertama, ia sebenarnya ingin sekali menyenangkan hati orangtuanya. Karena pada dasarnya, orangtua mana yang tidak sedih melihat anaknya menjadi seperti sekarang. Alasan yang kedua, tentu saja karena faktor lingkungan. Seperti yang kita tahu, masyarakat Indonesia belum bisa menerima keberadaan komunitas waria. Karena hal ini masih sangat aneh dan kurang logis. Maka itu, Dewi sering mendapat cemooh dari lingkungannya. Baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan kerjanya. Dan yang terakhir, yang membuat dirinya kadang-kadang mempunyai keinginan untuk berubah menjadi pria normal adalah Tuhan. Karena pada dasarnya, ia seorang yang beragama. Jadi pastinya ia takut akan Tuhan. Dan ia sendiri sebenarnya sadar bahwa profesi yang ia ambil itu adalah dosa besar. Selain melanggar kodratnya sebagai pria, ia juga melakukan hubungan seks dengan orang lain diluar pernikahan. Jadi itu bisa dikatakan sebagai perzinahan.
Profesi ini juga tidak lepas dari berbagai macam resiko. Menurut Dewi, resiko yang paling tinggi adalah penyakit. Selain beresiko menderita HIV/AIDS karena bergonta-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks, resiko lainnya adalah penyakit kelamin. Sehingga menurut Dewi, setiap hari ia harus menyiapkan alat pengaman, kondom. Walaupun ia tahu bahwa kondom juga tidak 100% aman dan bisa menjamin dirinya untuk tidak tertular penyakit.
Selain penyakit, ia juga mengaku resiko lainnya adalah ditangkap Kamtib. Menurutnya apabila ditangkap seperti itu, ia harus mengikuti pelatihan sosial di panti rehabilitasi tertentu. Hal ini dilakukan agar para waria dan Pekerja Seks Komersial seperti dirinya mendapat pelatihan dasar agar bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Untuk penghasilannya dari berprofesi sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) itu tidaklah menentu. Penghasilannya tiap malam selalu berbeda-beda. Namun menurut Dewi, itu masih bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Lagipula ia selalu berusaha menikmati dan bersyukur dengan apa yang diterimanya serta apa yang dijalaninya selama ini.


4. Hasil wawancara dengan waria keempat

Sakila, 18 tahun. Ia berasal dari Palembang. Kegiatannya sehari-hari adalah bekerja di Salon. Salon milik ‘mami’ di gang kecil, yang semua pekerjanya adalah waria.
Hobinya adalah clubbing/disko, layaknya hobi anak muda jaman sekarang lainnya. Cita-citanya adalah menjadi orang sukses dan kaya raya. Entah dengan menjadi PSK waria seperti profesi yang ia jalani sekarang maupun dengan menjalani profesi lain, yang penting ia ingin menjadi sukses dan kaya karena ia sudah lelah dan bosen menjadi orang miskin, kedua orang tua sakila adalah orang yang tidak mampu, ia saja hanya lulusan Sekolah Dasar, orang tuanya tidak mempunyai daya upaya untuk memberikannya pendidikan yang layak.
Sakila sudah menjalani profesi sebagai waria sejak pertama ia datang ke Jakarta 4 tahun yang lalu. Saat itu ia baru saja genap 14 tahun, usia dimana seharusnya ia sedang menuntut ilmu sebanyak-banyaknya di bangku sekolah untuk bekalnya saat dewasa kelak, namun kenyataan berkata, ia harus ‘bekerja’, pekerjaan yang sangat controversial, yaitu sebagai seorang WARIA.
Sakila mengaku bahwa faktor pendorongnya untuk berprofesi sebagai waria, selain faktor ekonomi adalah faktor nalurinya yang alami datang dari dalam dirinya, naluri yang mendorong ia bertingkah melawan kodrat. Ia mengaku merasakan keanehan atau hasrat untuk bertingkah seperti perempuan sudah dirasakan sejak ia masih sangat kecil, tepatnya sekitar ia berumur 4-5tahun. Dengan ragu ia berujar bahwa sejak kecil ia tidak bernafsu bila melihat ‘maaf’ alat kelamin perempuan, justru Ia bernafsu saat ia melihat ‘maaf’ alat kelamin laki-laki, hasrat tersebut diakuinya sangat besar dan tak terbendung, dan ia merasakan hal tersebut hingga saat ini, saat dimana hasrat tersebut dikomersilkan olehnya. Sakila juga mengaku ia tidak keberatan tidak dibayar sepeser pun asalkan ia dapat berhubungn seksual dengan laki-laki yang ia suka, ia melakukan hal tersebut semata-mata demi terpuaskannya hasrat seksualnya. Ia juga bercerita kepada kami bahwa tak jarang para wanita datang kepadanya, mereka meminta untuk ‘dilayani’, tetapi dengan tegas sakila menolak. Alasannya, ia tidak mau berhubungan seksual hanya karena uang, tetapi harus juga memenuhi hasrat seksualnya, sehingga ia hanya mau dibayar untuk melakukan hubungan seksual dengan laki-laki.
Saat ditanya mengenai keuntungan dan kelebihan dari pekerjaan yang sekarang ia jalani adalah terpuaskanya hasrat seksualnya. Hal itulah yang membuat ia tidak merasa terbebani dengan pekerjaan tersebut. Ditambahkannya pula, keuntungan materi juga menjadi tujuannya, ia tidak menikmati uang hasil bekerjanya tersebut untuk dirinya sendiri melainkan ia membaginya pula untuk keluarganya. Kami dapat melihat kecintaannya terhadap keluarganya, terlepas dari seburuk apa pekerjaannya.
Atas jalan hidup yang diambilnya sekarang tentulah ada kontroversi dari keluarga, ia mengaku bahwa ayahnya melarangnya untuk melanjutkan pekerjaan haram tersebut, bahkan ayahnya tidak mengijinkan Sakila pulang kampung saat hari Raya Idul Fitri apabila ia memakai pakaian wanita. Alhasil, sakila harus rela menjadi ‘laki-laki’ lagi sekali di dalam setahun, yaitu pada hari Raya Idul Fitri, semua itu demi bertemu, melepas rindu dan bersilaturahmi kepada keluarganya pada hari Raya. Mengenai uang juga tidak jauh berbeda, ayah Sakila tidak mau diberikan uang sepeser pun dari keringat Sakila, bagi ayahnya haram dan najis menerima uang dari hasil ‘menjual diri’. Namun Ibu Sakila tidaklah sekeras ayahnya, ibu sakila mengijinkan anaknya bekerja sebagai waria (komersil), alasanya adalah bahwa Sakila menjadi seperti itu pun bukan kehendaknya, tetapi karena dorongan dari dalam dirinya sejak kecil, selain itu ibu Sakila berfikir bahwa bagaimana pun Sakila tetap anak kandungnya yang ia sayang. Hanya ada satu syarat dari ibunya yaitu, Ia tidak boleh merubah ‘maaf’ alat kelaminnya. Mengenai uang juga ibu Sakila berbeda dengan Ayahnya, Ibunya masih mau menerima uang hasil jerih payah anaknya tersebut.
Ditanya tentang resiko dalam menjalani profesi tersebut adalah dihantui oleh penyakit HIV/AIDS, ia sangat takut apa yang dilakukannya selama ini akan mendatangkan penyakit mematikan tersebut, karena pastilah ia sudah beratus-ratus kali berhubungan seksual dengan laki-laki berbeda, dan ia tidak pernah tahu apakah mereka bersih dari HIV/AIDS ataukah tidak. Walaupun selama ini Sakila tidak pernah lupa untuk memakai kondom namun tentu saja ketakutan itu masih saja menghantui karena walau bagaimana pun alat tersebut hanya alat buatan manusia yang tidak bisa dijamin 100% keamanannya.
Saat ditanya mengenai penghasilnnya, ia tidak berkenan untuk menjabarkan angka pastinya, ia hanya berkata bahwa penghasilannya berbeda-beda setiap harinya, jumlah uang yang di dapat tergantung pada orang yang menyewanya pada hari itu. Bila yang menyewa kebanyakan orang asing, ia mengaku dapat meraup untung lebih banyak daripada disewa oleh orang lokal karena katanya orang asing tidak pernah memikirkan budget yang harus dikeluarkan, yang mereka fikirkan hanya kepuasan saja, mereka tidak pernah melakukan tawar menawar. Sedangkan orang lokal cenderung melakukan tawar menawar sebelum mereka melakukan hubungan, dan tidak jarang mereka mengingkari tarif yang sudah disepakati sebelumnya, terkadang hal tersebutlah yang memancing amarahnya, dan memaksa ia untuk berlaku kasar pada pelanggannya demi mendapatkan hak yang seharusnya ia terima.
Saat ditanya apakah ia mempunyai harapan atau keinginan terpendam di dalam hatinya untuk kembali menjadi pria normal dan sejati dengan tegas ia berujar tidak mau dan tidak akan, karena menurutnya, menjadi wnita sudahlah kodratnya, naluri dn jiwanya adalah menjadi wanita, sejak kecil ia sudah merasakannya, sehingga menurutnya agk mustahil baginya untuk kembali menjadi laki-laki/pria normal dan sejati, ditambahkannya lagi bahwa ia sudah nyaman dan bahagia menjadi seorang wanita (atau lebih tepatnya waria).


5. Hasil wawancara dengan waria kelima

Responden selanjutnya yang kami wawancarai adalah Feby berusia 40 tahun. Pertama kali saya berkenalan dengannya, ia tidaklah seperti waria – waria kebanyakan. Tubuhnya lebih kekar dan cara ia berbicara masih sangatlah terlihat sisi maskulinnya. Rambutnya yang panjang tergerai dapat dengan mudah sekali terlihat kalau ia hanya mengenakan rambut palsu. Ternyata pada siang harinya ia bekerja sebagai petugas lapangan untuk sebuah organisasi social penanganan HIV Aids Srikandi Sejati untuk kotamadya Jakarta Barat, Pisangan Baru. Dalam kesehariannya, ia dikenal sebagai Acung. Seorang pria biasa yang menutupi jati dirinya yang sebenarnya.
Feby mempunyai jiwa social yang sangat tinggi. Sedari ia kecil, tepatnya sedari ia duduk di sekolah dasar, ia sudah memiliki jiwa kewanitaan yang berbeda dari anak laki - laki seumurannya. Ayah ibunya sudah melihat perbedaan yang menonjol itu sejak dulu. Setelah beranjak dewasa, Feby yang hanyalah anak satu-satunya dari keluarganya merasakan bahwa ia tidak memiliki jiwa laki-laki seperti pria kebanyakan. Ia lebih tertarik kepada pria daripada wanita. Dengan cara ia berdandan, ia lebih senang terlihat anggun dan cantik daripada terlihat maskulin.
Pertama kali ia menyadari bahwa dirinya mempunyai jiwa kewanitaan adalah ketika ia berumur 7 tahun, ia diajak berbelanja oleh kedua orang tuanya ke sebuah department store. Ia tidak tertarik sama sekali dengan pakaian-pakaian anak laki-laki yang menurutnya membosankan. Ia lebih senang melihat gaun-gaun anak perempuan yang penuh renda dan pita-pita. Dari ia duduk di sekolah dasar pun, ia mengakui dirinya sebagai seorang anak perempuan. Namun ia masih menutupinya dari lingkungan. Teman-temannya pun menyadari akan perbedaan yang ditonjolkan oleh Feby tersebut. Dulu ia sempat dihina ketika ia duduk di Sekolah Menengah Pertama. Sikapnya yang tidak menunjukkan kelaki-lakian sejatipun menjadi bahan perbincangan anak-anak satu sekolah. Ia sempat tidak bersekolah selama beberapa pekan. Tetapi karena dorongan dan kasih sayang dari sang ibu yang sangat besar dan mau mengakui kekurangannya itulah ia memberanikan diri untuk dapat kembali bersekolah dan menyelesaikan studi nya di jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Feby yang mempunyai hobi berolahraga ini mengaku bahwa ia mempunyai cita-cita membuka bisnis salon di dekat rumahnya daerah Jakarta Barat untuk membantu perekonomian serta membahagiakan kedua orang tuanya. Karena penghasilannya sebagai petugas lapangan Srikandi Sejati tidaklah seberapa. Ia pun melihat waria bukanlah suatu profesi untuk dirinya melainkan kepuasan batin yang ia dapatkan untuk dirinya sendiri. Penghasilannya sebagai waria pun tidaklah tetap. Ia lebih sering menghabiskan malamnya di Taman Lawang bersama teman-temannya sebagai ajang kumpul-kumpul dan sekedar melepaskan penat. Kalaupun ia mau melayani pelanggan, ia melayaninya atas dasar suka dan atas kemauan ia sendiri. Sekalipun tidak dibayarpun ia mau. Asalkan ia juga sedang mempunyai hasrat untuk melayani pelanggan. Ia tidak ingin mengubah pribadinya menjadi wanita keseluruhan karena ia mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa sayang yang besar kepada kedua orang tuanya. Ia tidak ingin membuat orang tuanya menanggung malu atas perbuatannya.
Keuntungan dan kelebihan yang ia dapatkan dari profesi nya sebagai seorang waria adalah kepuasan batin tersendiri dimana ia dapat menjadi dirinya sendiri di tengah lingkungan yang mau menerima dirinya dan mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya. Ia telah memutuskan menjadi waria pada umur 20 tahun. Dimana ia ingin sekali hidup dengan jiwa nya yang sesungguhnya yakni jiwa sebagai wanita. Selama ini ia selalu berontak. Berontak akan keadaan dimana ia dipandang sebagai laki-laki tetapi ia sama sekali tidak memiliki jiwa laki-laki dalam dirinya. Keputusannya sebagai waria tentulah dengan segala pemikiran yang matang. Faktor dari keluarga dan lingkungan pun menjadi salah satu tantangan yang berat baginya. Tetapi ia bersyukur, ayah dan ibunya menerima keputusannya walaupun ia tahu mereka pasti dengan berat hati menerimanya. Ibunya hanya berpesan, walaupun ia sudah memutuskan untuk menjadi waria, hendaklah ia menjadi seseorang yang berguna bagi orang lain dan tetap membantu sesamanya.
Perjalanan dari profesinya sebagai waria selama 20 tahun tentunya telah mengalami berbagai rintangan dan resiko yang dihadapi. Perlakuan masyarakat yang semena-mena dan menganggap waria hanyalah sampah dari masyarakatpun sudah biasa ia dengar dan ia terima. Tidak sedikit orang – orang yang mencaci dirinya sebagai waria. Banyak pula orang – orang yang tidak senang atau iseng kepada waria dan melemparinya dengan batu kerikil. Perilaku seperti itu sudah biasa ia terima dalam kehidupannya sehari-hari khususnya di Taman Lawang tempat ia menghabiskan waktunya bersama teman-temannya seprofesi sebagai waria.
Pada mulanya, lingkungan tempat ia tinggal bersama orang tuanya tidak menerima keputusannya sebagai waria dengan positif. Omongan serta cemoohan dari tetangga nya sempat membuatnya merasa tersakiti. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk tinggal sendiri dan memulai kehidupan barunya dengan komunitasnya sebagai waria. Penertiban yang dilakukan oleh KamTib pun merupakan salah satu resiko yang sudah biasa ia jalani setiap malamnya sebagai waria. Tetapi itu semua sama sekali tidak membuatnya jera. Perlakuan KamTib yang semena-mena pun telah menjadi makanannya sehari-hari.


BAB 3 PENUTUP
Seksualitas melalui Kajian Budaya nampaknya menjadi hal yang selalu menarik untuk dikaji. Tidak hanya persoalan tubuh dan identitas diri, tapi juga pemaknaan atas representasi yang muncul di media komunikasi. Televisi menjadi salah satu media yang mampu menunjukkan nilai-nilai seksualitas, tanpa meninggalkan nuansa seks itu sendiri. Namun, kehadirannyapun juga mampu menyingkirkan kelas-kelas tertentu, meninggalkan keberagaman yang nyata, dan melupakan keunikan dari masyarakat. Apa yang ditampilkan oleh televisi bukan apa yang seharusnya dipahami sebagai realitas riil. Dualisme realitas antara televisi dan kenyataan menjadi tak bisa dipisahkan.
Televisi harusnya berfungsi sebagai komunikasi, informasi, dan dengan sendirinya pendidikan. Tapi saat ini Televisi agak mengabaikan paran stategisnya dalam membimbing dan memimpin berkembangnya kualitas sumber daya manusia, dan memberdayakan masyarakatnya. Televisi nampaknya tidak mempunyai daya untuk membangun masyarakat yang berkedaban. Bahkan citra yang lebih menonjol pada pertelevisian kita adalah pengeksploitasian, dan bukannya pengeksplorasian (Wirodono;2005). Buktinya dalam beberapa tayangan televisi kita saat ini penuh dengan fatamorgana serta penayangan realitas semu. Telah kita buktikkan, salah satu di dalamnya citra para banci yang ditunjukkan melalui sinetron, film, variety show dan acara-acara sejenisnya, yang tak lebih dari sekedar hiburan dan bahan tertawaan yang tidak jelas.
Media, khususnya televisi mampu menunjukkan representasi seksual melalui tayangan-tayangan disuguhkan. Kemampuan ini, menunjukkan kekuasaan televisi untuk menyeleksi dan menonjolkan unsur seksualitas yang dianggap menarik. Bisa jadi ini merupakan tarik ulur kepentingan bisnis. Pemaknaan tayangan seksualitas bukan berarti sebagai tayangan yang melulu berbau seks dan pornografi. Waria dalam televisi merupakan bentuk penayangan seksualitas yang dianggap tak wajar (abnormal) di masyarakat. Apapun bentuk programnya, televisi bisa menampilkan mereka dalam keadaan yang berbeda di masyarakat. Tayangan program dengan mengandalkan seperti ini menurut McQuail (1992;259) sebagiai sebuah program yang lepas dari ketidakmapanan publik dengan mengambil peran-peran yang dianggap lain dari biasanya.
Seksualitas banci, bencong dan sebutan lain juga terekam dalam potret pertelevisian Indonesia. Nilai-nilai dalam masyarakat terreduksi ketika identitasnya masuk ke panggung hiburan. Waria tak lagi menjadi dilihat sebagai kenyataan pahit dari realitas sosial tetapi telah menjadi bahan tertawaan yang menjual. Ketika kekuasaan dan modal sudah berbicara, maka yang terjadi adalah kehalalan untuk menjual realitas yang belum tentu benar.

o Kesimpulan

Dari cerita diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa faktor utama Waria menekuni profesi tersebut bukan hanya ekonomi keluarganya yang sederhana, namun untuk memenuhi hasrat dirinya sendiri dan juga mengikuti naluri wanita yang ia rasakan. Selain itu, menurut Dewi, dia juga menikmati profesinya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), karena ia bisa memenuhi kebutuhan seksnya. Bahkan dengan menjalani profesi inilah ia benar-benar bisa merasakan bahwa dirinya adalah seorang wanita. Seperti bisa berpenampilan selayaknya wanita dan juga bisa melayani laki-laki.

o Saran

Sebagai manusia ada baiknya kita tidak berpikir pendek seperti Waria. Ia melakukan tindakan yang dilarang Tuhan dengan menjadi Pekerja Seks Komersial, untuk alasan faktor ekonomi. Padahal masih banyak hal positif yang bisa ia kerjakan. Selain itu, kita juga harus menghargai apa yang telah Tuhan berikan kepada diri kita. Sebagai manusia, kita harusnya bisa menerima kekurangan dan kelebihan kita. Jangan jadikan alasan untuk melakukan hal-hal negatif. Karena itu hanya akan merugikan diri sendiri bahkan mungkin orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
Alimi, Moh Yasir. 2005. Seks Juga Bentukan Sosial: Rethinking Gender dan Seksualitas Menurut Teori Queer. Jurnal Online. http://www.rahima.or.id/Makalah/Seks%20Juga% 20Bentukan%20Sosial.doc. (diakses tanggal 10 Desember 2006).
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Cet. II. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Hadi, Astar. 2005. Matinya Dunia Cyberspace. Yogyakarta: LKiS.
Heroepoetri, Arimbi dan Valentina. 2004. Percakapan Tentang Feminisme vs Liberalisme. Jakarta: DebtWatch.
Lauer, Robert H. dan Jeanette Lauer. 2000. Marriage and Family: The Quest For Intimacy. Eds. 4. United States: McGraw-Hill.
May, Adeline. 2005. “Kebudayaan (para) Konsumen”. dalam Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
McQuail, Denis. 1992. Media Performance: Mass Communication and The Public Interest. London: Sage Publications.
Morley, David. 1995. “Television and Gender”. dalam Approaches to Media: A Reader. London: Arnold.
Nugroho, Garin dan Yasraf Amir Pilang. 2003. Televisi dan Hiperpolitik. dalam Kompas Cyber Media. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/17/seni/495655.htm. (diakses tanggal 10 Desember 2006)
Oetomo, Dede. 2001. “Perang Tanding Realitas: Konstruksi Sosial dalam Media Televisi”. dalam Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar